Omah Diksi (Omdik) itu sebuah tempat nongkrong para
anak-anak muda. Hmm, anak muda yang aku maksud disini umur 18-23 tahun lho ya.
Selebihnya, bukan anda yang aku maksud. Pertama kali ke omah diksi itu awal
tahun 2018. Aku yang baru aja pulang kampung dari tanah Borneo, di panggil
kawan pers untuk bercengkrama. Seneng dong ya, artinya aku masih dicari hihihi.
Gak lengkap kalau nggak ada cemilan, aku pun
membawa amplang batu bara khas tanah Borneo.
Menemukan tongkrongan ini pun lumayan sulit, apalagi malam.
Aku dua kali kelewatan masuk gang kecil. Google maps pun menyesatkanku. Jreng!
Tibalah aku di omdik. Tampak luar sih kayak warung kopi pada umumnya, sederhana
dan terang. Sederhana dan terang seperti cintaku ke doi yang tanpa penjelasan.
Skip.
Waktu itu ramai banget, aku kebingungan cari konco pers
kampusku. Aku telpon salah satu koncoku, “Dimana mas?” tanyaku. Mas mas di
telpon malah jawab masuk aja. Ya masuk kemana ini, aku sudah masuk tapi nggak
ada yang aku kenal. Berasa salah alamat yak. Eh ternyata, mataku saja yang agak
kabur. Rupanya kawan persku sudah ada di dalam. Hahahaha. Aku nggak lihat jelas
karena di dalam sana penuh asap-asap putih menyengat para pengopi (baca: asap
rokok). Jadi, asap rokok ini menyulitkanku fokus, kawan-kawan.
“Ih mas, sudah dari tadi kah? Maaf aku nggak ngeliat,
habisnya penuh asap gini, mas juga item sih,” celetukku.
Aku kesana bersama teman perempuanku. Jadi, aku berkumpul
dengan lima orang laki-laki dan satu perempuan. Jangan tanya kenapa kok banyak
laki-lakinya ya. Itu tidak penting. Nah, aku membuka obrolan membuka pertanyaan
tentang isu HAM. Maklumlah, aku masih newbie di pers dan belum seutuhnya
mengenal segala isu-isu sosial. Minta bimbingannya ya, rek.
Berada di omdik sekitar tiga jam-an, membuatku sia-sia saja.
Memang, konco-koncoku telah menjelaskan panjang lebar mengenai HAM. Namun, aku
sama sekali tidak fokus dengan aroma-aroma rokok disekitar. Baunya menyengat,
aneh, kepalaku puyeng-puyeng gitu. Diskusi tentang HAM pun aku hanya tau
tokohnya, tidak dengan kronologinya. Ingin pindah ke luar, apalah daya di luar
penuh dan merokok semua. Sesungguhnya asap rokok ini membunuhku perlahan,
ditambah vertigoku yang suka kambuh mencium asap rokok.
Awalnya aku tidak yakin bisa bertahan sejam dua jam disini
karena asap rokok. Koncoku selalu saja mengurungkan niatku untuk pergi.
Padahal, aku disini sudah tidak kuat mencium aroma sekitar. Mau pesan minuman
pun rasanya sudah malas. Sesungguhnya, ku ingin pergi dari sini. Mataku sudah
perih berhadapan dengan asap putih itu. Hahahaha.
Jadi, aku mengharapkan adanya smoking area di omah diksi.
Ini dimaksudkan untuk menghargai orang-orang yang tidak merokok. Biar sama-sama
nyaman kita ngopinya, patutlah menyediakan tempat itu. Wanita-wanita seperti
aku ini banyak yang kurang suka dengan asap rokok lho, fyi aja. Salah satu
alasan wanita tidak suka ngopi juga karena asap rokok tadi. Menurutku, asap
rokok itu sangat sensitif buat wanita. Selain mengganggu pernapasan bagi yang
menciumnya, pakaian yang dikenakan juga bakal bau asap rokok. Nah, hal ini kan
memicu pikiran negatif oleh temen-temen kontrakan wanita. “Pulang malem kok bau
rokok, jangan-jangan kamu.....................” ah you know lah gimana
nyinyiran wanita tulen kalau lihat wanita pulang malem berbalut aroma rokok.
Hmm.
Aroma rokok yang lengket di pakaian juga sulit hilangnya. Biarpun dikasih parfum secukupnya, baunya bakal bercampur dan jadi aneh.
Aroma rokok yang lengket di pakaian juga sulit hilangnya. Biarpun dikasih parfum secukupnya, baunya bakal bercampur dan jadi aneh.
Pokoknya, asap rokok sangat-sangat membuatku tidak
fokus, tidak nyaman dan ingin segera pindah ke lain hati tempat. Dengan
ditulisnya permohonan ini, omdik mungkin bisa memaklumi kegundahan wanita
selama ini di warung kopi. Nggak semua wanita sih, tapi yang newbie gini duh
sengsara banget, om. Permintaanku di tahun 2019, omdik menyediakan area smoking
ya. Kalau gak bisa, bisa dibuat jam-jam merokok tapi kayaknya itu halu. Heheheh